Saat ini, terdapat 7–9 unit insinerator yang sudah beroperasi di Bandung. Beberapa di antaranya hasil kerja sama dengan swasta, pengadaan APBD, hingga bantuan dari TNI. Pemkot juga tengah menyiapkan tambahan 84 unit insinerator di kawasan Bandung Raya dengan proyeksi anggaran sekitar Rp117 miliar.
Selain itu, pemerintah pusat bersama Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat sedang menyiapkan transisi ke teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Sampah yang diolah menjadi RDF akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk pabrik semen di Sukabumi.
“RDF ini program langsung dari Presiden. Bandung akan menjadi bagian dari pilot project tersebut,” tegas Erwin.
Dalam pembiayaan, Pemkot Bandung membuka opsi Public Private Partnership (PKS) dengan skema tipping fee Rp350.000 per ton. Namun, sebagian mesin juga dibeli dengan dana APBD.
Selain itu, Pemkot meluncurkan Program Prakarsa yang mengalokasikan Rp200 juta per RW yang sudah menjadi Kawasan Bebas Sampah (KBS) dan Rp100 juta untuk RW yang baru memulai. Dana tersebut dapat digunakan untuk berbagai program pengelolaan sampah sesuai kebutuhan wilayah.
“Saya berharap tahun 2026 semua RW di Bandung sudah menjadi Kawasan Bebas Sampah. Target tahun ini saja minimal 700 RW sudah menerapkan KBS,” kata Erwin.
Seluruh pengoperasian insinerator di Bandung tunduk pada regulasi Permen LHK No. 70/2016 tentang baku mutu emisi, serta PP No. 22/2021 tentang kualitas udara ambien. Insinerator Motah dipilih karena telah memenuhi standar uji emisi, uji sedimen, dan sertifikasi RSNI.






